3 Apr 2012

Demo BBM: Ancaman Amerika dan Politik Pamrih

Image634690346754687500Demo dan protes atas rencana pemerintah untuk menaikkan tarif BBM kali ini tidak saja membawa emosional juga membawa berbagai sudut dimensi moral. Dan gregetnya, aksi ini menimbulkan gempa politik dan gemuruh yang meledak-ledak dari yang mengusung ideologi hingga yang hanya sekedar hura-hura dan pura-pura.

Gemuruh ledakan gempa politik semakin parah lagi saat para politisi mengerahkan massanya yang nampak sekali sedang berlomba mencari muka untuk mensterilkan wajah mereka yang sudah bopeng dan lebam untuk kemudian menyibukkan diri mendongkrak citra dan rasa. Dalam setiap kesempatan mereka begitu familiar menyiapkan berton-ton kata-kata dan konsep-konsep abstrak melegalkan penghianatan amanat rakyat dihadapan rakyat. Sebuah perpaduan yang adonannya pas untuk menepis setiap kemungkinan kecurigaan rakyat kalau ini tak lebih dari program persengkongkolan kejahatan yang paripurna.

Ironis bila mengingat mereka telah digaji mahal-mahal dengan uang pajak rakyat untuk sesuatu yang derajatnya jauh lebih mulia dari sekedar kekuasaan sesaat. Sebuah momentum pamrih politik demi investasi menggiurkan menjelang Pemilu 2014 nanti.

Tak heran jika banyak politisi mencoba menggunakan amunisi kenaikan BBM bertekad menggoyang rezim dengan harapan “siapa tahu bisa jadi pahlawan”. Mereka yang secara sadar tidak bakal mampu mendongkel rezim, namun tetap berupaya sebagai modal politik menjelang Pemilu 2014 kelak.

Yang menggelikan adalah, mereka yang menjejakkan dua kaki ditempat berbeda. Satu di pemerintahan dan menjadi bagian dari koalisi dan satu lagi di pihak oposisi. Yang model demikan ini tidak pernah alpa memanfaatkan momentum dan sentimen publik terhadap kebijakan pemerintah yang memang sedikitnya merugikan rakyat dan menguntungkan segelintir taipan kaya raya dan asing. Tentu saja jalan bejad seperti itu adalah bagian dari investasi menggiurkan menjelang Pemilu 2014 nanti.

Sebab, sudah jadi rahasia umum kalau sektor energi Indonesia, khususnya minyak dan gas, banyak bergantung kepada pendanaan dan kehadiran predator asing utamanya AS. ”Posisi tawar Indonesia dibidang energi,” menurut Priagung Rahmanto dari Reforminer Institue, ”sangat lemah.” Sekitar 55% produksi minyak mentah Indonesia ada di tangan Chevron, katanya. Di tengah seratnya anggaran negara, penurunan produksi minyak mentah dari perusahaan seperti Chevron tentu adalah hal terakhir yang ingin didengar pemerintah. Tapi, kata Priagung, Indonesia tak serta-merta harus membebek. ”Kita harus menghitung apa yang bakal kita dapat dari patuh kepada aS,” katanya.

Dia pribadi bilang Indonesia tak perlu tunduk. Tapi apakah politisi-politisi diatas masih punya nyali untuk tidak berkata "IYA" kepada Amerika Serikat?

Senada dengan apa yang dikatakan oleh Rahmanto, Hasyim Muzadi juga menilai pemerintah saat ini lebih takut kepada pihak asing daripada membela kepentingan rakyatnya sendiri. "Di sinilah letaknya, mengapa pihak asing selalu mendesak pemerintah untuk mencabut subsidi. Tentu itu bukan untuk kepentingan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," kata Hasyim Muzadi di Jakarta, Selasa (27/3).

Pro-kontra kenaikan harga BBM adalah ekses otomatis yang akan dihadapi bangsa ini, kapan saja dan dimana saja, bahkan rakyat terpaksa harus berhadap-hadapan dengan TNI/Polri, pilar negara kebanggaan jutaan warga sebangsa.

Tapi, kencangnya tekanan asing dan ketertundukan pemerintah pada kehendak perusahaan predator kaya raya utamanya AS, akan memaksa pemerintah untuk tidak punya pilihan selain menggolkan kenaikan harga BBM. Sementara politisi yang koar-koar teriak keadilan di luar sana, bisa dibilang adalah mereka yang tak bisa ikut menikmati dan merayakan nikmatnya kue politik dan kekuasaan. Sebagian adalah mereka yang memang sejak awal terpelanting dan tidak bisa merasakan lezatnya kue kekuasaan. Sebagian lagi adalah mereka yang tidak dapat tempat karena seat pesawat kekuasaan SBY “sudah penuh”. Bahkan sebagian lagi belum pernah mengecap kekuasaan dan belakangan terang-terangan menyatakan perlawanan atas rezim.

Dan, ancaman Washinton untuk Indonesia sebenarnya bukan cerita baru meski ini jarang di ketahui publik umum. Tapi bagi politisi dan pejabat elit di Jakarta sana, tentu sangat fasih dan familiar memahami persoalan ini, tapi mengapa mereka tetap anteng dan tenang menggerendel mulut mereka? [Islam Times/on] Redaksi Islam Times