8 Mar 2012

Sampah Itu Bernama Televisi

Sambil menyelam minum air. Barangkali pepatah ini menggambarkan dengan tepat perilaku kapitalis media di Indonesia. Terutama televisi, tapi media lainnya tidak kecuali. Dengan menjejalkan sampah berupa entertainment dalam ke dalam benak rakyat pekerja melalui media massa, mereka menangguk keuntungan ganda.

Pertama, pundi-pundi mereka semakin penuh. Sebab, acara yang sangat diminati akan memperbanyak iklan. Kapitalis yang menjual barang atau jasa menyasar rakyat pekerja sebagai konsumen, dan media massa kapitalis menjadi jembatannya. Jelas ada simbiosis mutualisme antara kapitalis yang menjual barang dan jasa dengan kapitalis media.

Kedua, mereka berhasil menciptakan “dunia baru” bagi rakyat pekerja. Bukan dunia riil, tentu, tetapi dunia khayal. Dunia khayal ini terdiri dari berbagai panggung dan skenario, lengkap dengan para aktor dan aktrisnya, baik yang protagonist, antagonis, peran pembantu, atau semata figuran. Ada yang lucu, yang bikin pemirsa tertawa terpingkal-pingkal. Ada yang miris, yang membuat pemirsa berurai air mata. Ada yang menyebalkan, yang menciptakan rasa sebal di hati pemirsa. Ada yang menyenangkan, yang menghadirkan kegembiraan di hati pemirsa. Dengan itu semua, pertama, kapitalis media melipur lara rakyat pekerja, yang susah hati karena himpitan beban-beban kehidupan; kedua, kapitalis media mengobati kelelahan fisik dan mental rakyat pekerja setelah seharian kerja membanting tulang untuk menyambung hidup dan – khususnya kaum buruh – memperkaya kaum majikan. Dengan refreshing itu, rakyat pekerja siap membantingtulang lagi keesokan harinya. Ketiga, dengan itu semua kapitalis media mengalihkan perhatian rakyat pekerja dari akar yang sesungguhnya dari persoalan mereka, yakni penindasan dan penghisapan kapitalis, kepada permainan logika dan emosi dunia khayal. Demikianlah, dengan dunia khayal kapitalis media menjinakkan rakyat pekerja.

Entertainment tidak pernah tanpa entertainer. Karena itu kapitalis media membutuhkan para pekerja entertainment, tergantung dari jenis khayalan apa yang ingin dijualnya. Lucu, miris, menyebalkan, atau menyenangkan. Tergantung pula kemasannya: talk show, komedi, musik, infotainment, sinetron, atau reality show. Ada Thukul Arwana, Olga, Rafi, Ayu Ting Ting, Jessica Iskandar, dsb., dsb.

Ada simbiosis mutualisme antara para pekerja entertainment dan kapitalis media. Sudah barang tentu melalui mereka kapitalis media menangguk keuntungan yang sangat besar. Sejumlah pekerja entertainment, yang menjadi sales omong kosong dan sampah juga memperoleh keuntungan yang sangat besar. Semakin penampilan mereka memperbesar slot iklan, semakin tinggi mereka dibayar, dan semakin pula mereka tenar. Mereka pun menikmati kemewahan yang sekian lama menjadi “hak istimewa” para ningrat feodal dan kaum burjuis. Mereka bukan ningrat feodal, mereka juga bukan burjuis. Namun “berkah” yang dikucurkan burjuasi, yakni kapitalis media (yang dalam analisis terakhir sebenarnya diperoleh kapitalis media dari nilai lebih yang dirampas para kapitalis barang dan jasa dari kaum buruh mereka), membuat orang-orang ini bisa menikmati segala sesuatu yang tidak mungkin dinikmati oleh kaum pembantingtulang, rakyat pekerja: uang berlimpah, mewahnya makanan, pakaian, rumah, mobil, dan liburan, serta ketenaran. Dengan jeli kapitalis media pun membuat gaya hidup dan ulah mereka menjadi berita yang laku dijual kepada para pemirsa. Sampah-sampah pun memenuhi layar kaca televisi kita.

Rakyat pekerja adalah pasar. Rakyat pekerja sekaligus juga “binatang liar” yang harus dijinakkan. Pekerja entertainment diuntungkan, terlebih kapitalis media, juga klas kapitalis secara keseluruhan. Dalam hal ini Julius Caesar benar, “sirkus” (pertunjukan, atau hiburan) adalah salah satu cara yang ampuh untuk menjinakkan rakyat. Namun kapitalis media jelas lebih pandai daripada Caesar, karena mereka berhasil membuat rakyat mengisi penuh pundi-pundi mereka. Modal tidak hanya berhasil menjinakkan kaum yang dikhawatirkan akan menjadi para penggali kuburnya. Modal juga berhasil membuat kaum penggali kubur itu membuatnya semakin besar.

Antonio Gramsci, seorang Marxis dan pendiri Partai Komunis Italia, berkata-kata tentang hegemoni sebagai “perangkat lunak” yang dimiliki klas penguasa untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Hegemoni, menurut Gramsci, adalah “kepemimpinan moral dan intelektual”. Melalui agama, pendidikan, surat kabar, dan sebagainya, para produsen ideologis klas penguasa membentuk sentiment moral dan cara berpikir klas yang dikuasai. Dengan demikian klas yang dikuasai, yakni klas buruh dan rakyat pekerja lainnya, menerima begitu saja nilai-nilai moral, sistem pemaknaan, dan logika burjuasi alias klas penguasa. Pada gilirannya, rakyat pekerja tidak mempertanyakan keabsahan kekuasaan burjuasi. Tentu saja Gramsci benar. Tapi kapitalis media memperlihatkan satu prestasi lagi dari klas penguasa: memasukkan rakyat pekerja ke dalam dunia khayal, dan dengan jalan itu menjinakkan rakyat pekerja dan menangguk keuntungan besar dari mereka.

Lalu bagaimana?

Sebagai Kaum Sosialis, kenyataan ini membuat kita perlu menyadari beberapa hal. Pertama, rakyat pekerja, termasuk klas buruh, “mudah” terhegemoni oleh klas penguasa. Kita tidak boleh menyalahkan rakyat pekerja. Burjuasi memiliki sarana-sarana yang memungkinkan mereka meng-hegemoni rakyat pekerja. Dengan itu mereka tanpa henti membanjiri hati dan pikiran rakyat pekerja dengan “makanan” (baca: sampah) yang “enak” namun melumpuhkan daya kritis mereka. Di samping itu, rakyat pekerja yang begitu terhimpit oleh beban-beban kehidupan akan lebih reseptif terhadap obat-obat bius yang diinjeksikan kapitalis media.

Kedua, klas buruh, sebelum tiba pada kesadaran klas yang revolusioner, mereka tetap dalam posisi “class in itself”, klas pada dirinya sendiri. Mereka tidak hanya teralineasi dari hasil kerja mereka, tapi juga dari diri mereka sendiri. Dalam posisi tersebut, klas buruh ibarat bahan mentah yang nyaris bisa diperlakukan apa saja oleh kaum kapitalis. Bila mereka sudah tiba pada kesadaran klas yang revolusioner, jadilah mereka class for itself (klas untuk dirinya sendiri), yang mampu menolak hegemoni kapitalis dan bangkit untuk menggulingkan kapitalisme.

Ketiga, agar klas buruh tiba pada posisi “class for itself”, kita harus mengarahkan kerja-kerja politik kita pada mereka. Kontra-hegemoni, dalam kosakata Gramsci. Kita harus menggugah kesadaran kritis, yang membuat mereka mempertanyakan “sampah-sampah” itu, dan akhirnya menghantar mereka pada kesadaran klas yang revolusioner.

Keempat, kita perlu realistis, bahwa muskil bagi kita untuk menggugah kesadaran kritis klas buruh dan rakyat pekerja secara keseluruhan. Dalam kerja-kerja politik kita, hendaklah kita jeli untuk melihat unsur-unsur yang secara potensial atau secara aktual memiliki kesadaran yang maju. Kita perlu mengkomunikasikan Marxisme secara intensif dan terprogram, serta mengorganisir mereka sehingga mereka dapat menjadi garda depan klas mereka, bahkan garda depan rakyat pekerja.

Kelima, “roti dan sirkus akan menjinakkan rakyat.” Begitulah pemikiran diktator Romawi, Julius Caesar. Pemikiran ini reaksioner, memberi resep kepada para tiran dalam mempertahankan kekuasaan otoritarian mereka. Namun, pemikiran ini bisa dibalik untuk melihat kondisi obyektif dan faktor subyektif negeri kapitalis terbelakang seperti Indonesia. Mari kita pertimbangkan: untuk beberapa waktu, diktator Soeharto dan Orde Barunya berhasil memasok “roti” atau memenuhi kebutuhan ekonomi rakyat. Tapi ketika “roti” mengalami krisis yang akut, ketakutan dan kebencian rakyat kepadanya bertransformasi menjadi kemarahan yang mendorong mereka menggulingkan Soeharto.

Pasca Soeharto adalah eranya klas penguasa yang lama dan hubungan produksi lama (kapitalisme) dengan rezim yang baru (tanpa Soeharto). Rezim-rezim pasca Soeharto, termasuk rezim SBY, gagal memasok “roti” seperti Soeharto (meski 40 orang terkaya di Indonesia terbukti semakin kaya, namun kemiskinan yang parah semakin meluas). Tapi rezim SBY masih tertolong oleh aneka sirkus pelipur lara dan penyegar rakyat pekerja serta pengalih kesadaran kritis mereka. Tapi sampai kapan? Nigeria baru saja menunjukkan gejala revolusioner, yang dipicu oleh keputusan pemerintah menaikkan harga BBM. Fundamental ekonomi Indonesia yang semakin menyisihkan sektor informal (ekonominya rakyat, pasar tradisional, warungan, angkringan, kelilingan, asongan) dan makin menjadi lahan bagi imperialisme (“neoliberalisme”, yang pada galibnya tak lain daripada tahapan tertinggi kapitalisme, yakni imperialisme), tinggal menunggu waktu untuk mengalami krisis “roti” yang akut.

Di tengah krisis seperti ini, tidak ada satu sirkus atau sampah entertainment pun yang akan dapat bertahan. Kondisi obyektif akan membuat kesadaran massa berubah secara drastis: mengenyahkan sampah dan bergerak melawan rezim. Jadilah revolusi sosial. Namun ini baru awal kisah. Karena seperti Reformasi 98, revolusi sosial bisa dibajak oleh para reformis untuk mempertahankan klas penguasa yang lama dan hubungan produksi yang lama dengan menggantikan rezim yang lama dengan rezim yang baru. Atau seperti Revolusi Iran 1979, yang dibajak oleh kaum kontra-revolusioner fundamentalis, yang menyingkirkan klas penguasa yang baru namun mempertahankan hubungan produksi yang lama dan mendirikan rezim yang baru. Revolusi sosial baru mencapai tujuan hakikinya bila ia dikawal oleh kaum Sosialis revolusioner, yang bersama dengan garda depan proletariat memimpin rakyat pekerja untuk menyingkirkan klas penguasa yang lama, mengakhiri hubungan produksi yang lama (kapitalisme) dan menggantikannya dengan hubungan produksi yang baru (sosialisme), dan menegakkan rezim baru, yakni diktatur proletariat atau pemerintahan buruh.

Tapi untuk itu, kita tidak boleh berpangku tangan. Kita harus mengintensifkan kerja-kerja politik kita dalam membangun partai pelopor revolusioner dan garda depan proletariat. Dengan bekal tradisi, program, dan metode yang kita pelajari dari para revolusioner sejati, yakni Marx, Engels, Lenin, Trotsky, dan Ted Grant, kita sedang dan akan terus melakukannya.

Sampah di televisi kita akan berakhir bila media ada dalam kepemilikan, akses, dan kontrol demokratis rakyat pekerja. Para penjaja sampah, seperti halnya produsen sampah alias kapitalis media, tidak bisa lagi menikmati kemewahan di tengah-tengah kemelaratan dan penderitaan rakyat pekerja bila negeri ini mengalami demokratisasi yang sejati, yakni demokratisasi yang meletakkan segala kekuasaan ekonomi dan politik pada rakyat pekerja yang mengorganisir diri dalam dewan-dewan pekerja dan dewan-dewan komunal. Televisi dan para pekerja seni akan memperkaya kebudayaan rakyat pekerja bila negara ini tidak lagi menjadi negaranya klas burjuis (diktatur burjuis), tetapi negaranya rakyat pekerja. ***

Pandu Jakasurya

Artikel Terkait

- Reviewer: Asih - ItemReviewed: Sampah Itu Bernama Televisi Deskripsi: Sambil menyelam minum air. Barangkali pepatah ini menggambarkan dengan tepat perilaku kapitalis media di Indonesia. Terutama televisi, tap... Rating: 4.5
◄ Newer Post Older Post ►