TEL AVIV – Rancangan undang-undang baru Israel memungkinkan penutupan organisasi manapun yang melakukan investigasi dan mempermasalahkan pelanggaran yang dilakukan militer Israel di hadapan hukum.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia Israel mengatakan mereka amat khawatir dengan diajukannya rancangan undang-undang baru yang dapat menutup organisasi manapun yang melakukan investigasi dan menggugat pelanggaran yang dilakukan oleh militer Israel.
RUU tersebut diperkenalkan di parlemen Israel (Knesset) kemarin dengan didukung oleh setidaknya 17 orang anggota parlemen dari berbagai partai. Jika RUU tersebut disahkan, maka organisasi manapun akan sulit didaftarkan, dan organisasi yang sudah ada bisa ditutup jika diketahui memberikan informasi kepada asing atau terlibat dalam proses hukum di luar negeri terhadap para pejabat pemerintahan senior Israel, atau IDF atas kejahatan perang.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan RUU tersebut, yang merupakan hasil amandemen dari undang-undang pengaturan asosiasi, merupakan upaya terbaru dari serangkaian upaya untuk mengekang aktivitas mereka terkait agresi brutal Israel di Gaza.
Beberapa kelompok membeberkan bukti yang menunjukkan IDF melakukan pelanggaran serius terhadap hukum internasional dalam perang selama tiga minggu tersebut dan memberikan bukti itu kepada penyelidikan PBB yang dipimpin hakim Afrika Selatan Richard Goldstone.
Laporan Goldstone menyebutkan bahwa Israel dan Hamas diduga melakukan kejahatan perang dan harus melakukan penyelidikan independen. Laporan tersebut mendapat kritikan keras dari para pejabat Israel. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut laporan Goldstone sebagai salah satu tantangan keamanan paling serius yang dihadapi Israel hari ini.
Dalam pernyataan gabungan hari ini, 10 kelompok HAM Israel mengatakan bahwa RUU tersebut akan menginjak-injak nilai-nilai demokratis. “Bukannya membela demokrasi, para pendukung RUU ini justru lebih suka menghancurkannya,” kata mereka.
“RUU ini merupakan hasil langsung dari kepemimpinan tidak bertanggung jawab yang melakukan segala yang mereka bisa untuk menghancurkan nilai-nilai demokratis dan berbagai pilar yang menjadi tulang punggung demokrasi: Mahkamah Agung, kebebasan pers dan organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia.”
Kelompok-kelompok tersebut termasuk B’Tselem, Gisha, Adalah, Asosiasi Hak Sipil Israel dan Gerakan Rabbi pendukung HAM. Adalah, yang berfokus pada hak-hak kaum minoritas Arab di Israel, mengatakan bahwa RUU tersebut merupakan “langkah berbahaya terhadap kelompok-kelompok HAM. RUU tersebut ingin membatasi kebebasan berekspresi dan kebebasan berserikat dari organisasi-organisasi tersebut,” kata Adalah.
Akan tetapi, RUU tersebut sudah telanjur mendapatkan dukungan signifikan dari berbagai partai. “RUU tersebut akan mengakhiri luapan amarah organisasi-organisasi nirlaba yang berusaha menggulingkan pemerintah dengan berkedok organisasi hakasasi manusia,” kata Ronit Tirosh, seorang anggota parlemen dari partai oposisi Israel, Kadima, kepada surat kabar Maariv.
RUU tersebut juga agaknya mendapatkan dukungan publik Israel. Dalam sebuah jajak pendapat yang diberitakan surat kabar Haaretz minggu ini, ditemukan bahwa ada 58% warga Yahudi Israel yang yakin bahwa organisasi-organisasi HAM yang membongkar tidakan amoral Israel tidak boleh dibiarkan beroperasi dengan bebas.
Lebih dari setengah responden dari survei Tami Steinmetz Centre for Peace Research, Universitas Tel Aviv, mengatakan bahwa kebebasan berekspresi di Israel sudah kebablasan.
Sebagian besar mengatakan bahwa mereka mendukung upaya menghukum warga Israel yang mendukung sanksi atau boikot terhadap Israel. Mereka juga setuju menghukum para wartawan yang pemberitaannya terlalu kritis terhadap pertahanan Israel.
82 persen responden mengatakan bahwa mereka mendukung hukuman keras untuk orang-orang yang membocorkan informasi rahasia yang membahayakan Israel.
“Persepsi demokrasi warga Israel sudah menyimpang,” kata Daniel Bar-Tal, seorang profesor di fakultas pendidikan universitas tersebut. “Masyarakat mengakui pentingnya nilai-nilai demokrasi, namun dalam penerapannya, ternyata sebagian besar orang justru anti demokrasi.”
David Newman dari Universitas Ben-Gurion mengatakan bahwa hasil jajak pendapat tersebut amat mengkhawatirkan, ia menambahkan, dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi serangan terhadap kebebasan berekspresi.(suaramedia)